Pemkab Minahasa Utara Bantah Isu ‘Kades Segel Musala’, Begini Penjelasannya

Ilustrasi Twitter (Foto: twitter)

Jakarta – Berawal dari postingan sejumlah netizen, media sosial diramaikan isu liar kepala desa menyegel musala dan melarang umat Islam salat di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Minahasa Utara memastikan kabar penyegelan itu tidak benar. Lalu apa yang sebenarnya terjadi?

Isu liar itu diunggah oleh beberapa akun di Twitter. Diselipkan juga video yang menampilkan sejumlah pria sedang berbicara dengan dua orang perempuan. Perbincangan juga disaksikan oleh seorang pria yang memakai seragam polisi.

Isi percakapan antara pria dan perempuan dalam video tersebut yaitu mengenai perizinan sebuah tempat. Si perempuan menyebut harus ada izin jika para pria itu ingin beribadah di tempat yang dipersoalkan. 

Namun si pria mengatakan pembentukan musala tak memerlukan izin. Menjawab hal tersebut, si perempuan menyinggung pernyataan Ketua MUI. 

Video tersebut kemudian terpotong saat si perempuan menutup gerbang. Tak diketahui secara jelas akhir percakapan itu. Bersama dengan video itu, dimunculkan narasi ‘seorang kades melakukan penyegelan’. Narasi ini lah yang kemudian berkembang di media sosial.

Kabag Humas dan Protokol Pemkab Minahasa Utara, Chresto Palandi, menepis isu liar yang berkembang di media sosial itu. Tempat yang disebut-sebut sebagai musala itu, menurut Chresto, adalah balai pertemuan.

“Jadi yang jelas, itu bukan musala tapi balai pertemuan, dan seperti aturan untuk semua bahwa untuk mengadakan kegiatan, kumpul-kumpul, harus ada izin kegiatan berkumpul kan, izin keramaian,” ujar Chresto saat dihubungi, Senin (29/7/2019).

Peristiwa itu terjadi di perumahan Agape, Desa Tumaluntung, Kauditan, Minahasa Utara, Jumat (26/7) pukul 09.00 Wita. Jemaah saat itu ingin menunaikan salat di balai pertemuan.

“Jemaah minta izin untuk salat tapi oleh pemdes (pemerintah desa) disilakan salat di masjid. Jadi tidak seperti pemberitaan di media online bahwa lagi salat terus dibubarin,” ujarnya.

Chresto mengatakan setiap kegiatan memang harus disertai izin. Dia juga memastikan pemerintah tidak menghalang-halangi masyarakat untuk beribadah.

“Belum sempat ngurus izin sehingga acara kegiatan itu dihentikan oleh pemerintah desa, sama sekali nggak ada motif untuk menghalangi ibadah, salat, sama sekali nggak ada,” ujar dia.

Dia menjelaskan selama Bulan Ramadhan penuh pun pemerintah memberikan izin kepada umat Islam untuk beribadah di tempat pertemuan tersebut. Chresto kembali menegaskan tak ada upaya dari pemerintah untuk melarang warga beribadah.

“Waktu selama bulan suci Ramadan, sama minta izin untuk salat di situ, dan itu diizinkan. Nah setelah itu seperti biasa kalau ada kegiatan-kegiatan semua dari Kristen, dari Muslim, kalau mau kumpul-kumpul kan ngurus izin. Mungkin pada kesempatan yang lalu nggak ngurus izin, jadi disetop pemerintah desa,” imbuh dia.

“Yang pasti sama pemerintah desa kalau mau dilanjutkan atau apa, silakan lengkapi administrasi dan persyaratan musala, sama sekali nggak ada menghalangi orang beribadah,” sambung Chresto.

Chresto memastikan situasi saat ini sudah kondusif. Sejumlah tokoh lintas agama sudah bertemu membicarakan persoalan tersebut.

“Sudah diselesaikan secara kekeluargaan melibatkan juga unsur BKSAUA (Badan Kerja Sama Antar Umat Beragama) dan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama), sudah kondusif, dan pemdes mempersilahkan untuk melengkapi persyaratan apabila tempat pertemuan tersebut akan dijadikan musala,” ujar dia.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *