Perjumpaan Pudarkan Prasangka
Aulia Trisilia tak berhenti memandangi pilar kokoh yang menopang Gereja Katedral, Jakarta. Dia memang baru pertama kali menginjakkan kaki di bangunan yang diresmikan pada 1901 itu. Kemegahan arsitektur gereja bergaya neogotik tersebut membuatnya terpana. Kamis (4/7) pagi itu, Aulia mengunjungi Gereja Katedral, Jakarta, bersama puluhan kakak dan adik SabangMerauke. Mereka disambut hangat Pastor Gereja Katedral Romo Markus Yumartana.
Karena hari itu bukan hari ibadah, situasi gereja masih sunyi. Hanya ada segelintir orang yang datang untuk berdoa di Goa Maria. Sambil mengenakan jubah putihnya, Romo Yu mengajak mereka duduk di barisan, persis di depan altar. Aulia, yang baru pertama kali masuk gereja, tak bisa menutupi rasa senang sekaligus khawatir. Dengan jilbab yang dikenakannya, kelihatan sekali dia bukanlah seorang pemeluk Katolik.
Aulia juga sempat terngiang oleh cemoohan teman-temannya yang mengetahui niatnya berkunjung ke gereja. Hal ini bikin mahasiswi semester II Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta itu jadi tambah minder duduk di dalam gereja. “Mereka bilang, kalau masuk ke tempat ibadah lain, kita akan murtad dan langsung pindah agama,” ungkap Aulia saat ditemui di acara family gathering SabangMerauke pada Sabtu (14/7).
Namun, setelah berinteraksi, Aulia justru mendapatkan perspektif berbeda. “Ternyata aku masuk gereja, vihara, bahkan pura pun, aku merasakan ketenangan yang sama seperti aku masuk ke masjid. Karena pada dasarnya itu sama-sama tempat berdoa, tempat ibadah. Aku nggak merasa kaya kepanasan seperti yang mereka bilang. Lucu saja sih stigma yang kaya begitu.”
Tak hanya berkunjung dan berfoto di dalam rumah ibadah, mereka juga diperbolehkan bertanya kepada para pemuka agama mengenai kebiasaan dan ritual beribadah. Peserta program SabangMerauke ini diajak mengutarakan segala macam syak wasangka yang masih melekat di pikiran mereka. Rupa-rupa pertanyaan pun dilontarkan.
“Jadi mereka bisa lihat mana yang hoax dan fakta. Dulu ada angkatan 2017 mengira kalau orang Kristen cuma makan daging babi. Di sini baru dijelaskan dan dia akhirnya mengerti, oh ternyata orang Kristen juga sama, makannya nasi,” ungkap Reynold Hamdani, Managing Director Sabang Merauke.
Selama tiga pekan ini, mulai 1 sampai 19 Juli, Aulia menemani Adik SabangMerauke bernama Jelfin Rahimbera. Tahun ini di antara seluruh Adik SabangMerauke, Maya, begitu biasa Jelfin akrab disapa, merupakan peserta yang kampung halamannya paling jauh. Maya tinggal di Desa Lekokadai, Mangoli Barat, Kepulauan Sula, Maluku Utara.
Dari rumahnya, Maya harus menempuh perjalanan panjang tanpa pendamping. Maya menempuh perjalanan laut menyeberangi Laut Maluku dari Pulau Mangoli selama 26 jam menuju Ternate. Dia pun masih dua hari menunggu pesawat di Ternate untuk melanjutkan perjalanan ke Jakarta.
Maya lahir dan tumbuh di tengah keluarga Kristen Protestan. Namun dia sudah terbiasa dengan lingkungan heterogen. Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, anak ketiga dari empat bersaudara ini bersekolah di Madrasah Tsanawiya Lekokadai. Perempuan berusia 14 tahun ini masuk ke sekolah berbasis Islam karena tak punya pilihan.
Sekolah negeri dan sekolah Kristen yang tersedia letaknya sangat jauh dari rumah. Meskipun begitu, Maya tidak pernah kesulitan berinteraksi dengan temannya yang berbeda agama. Dia juga mengikuti pelajaran bahasa Arab. “Cuma gurunya mengerti juga kalau anak-anak Kristen belajar bahasa Arab dapat nilai 70 juga sudah bagus,” kata Maya dengan logat timur Indonesia yang kental.
Selama mengikuti program SabangMerauke, Maya tinggal di rumah pasangan Sugeng Hariadi dan Dewi Kurnia Salwa. Tak butuh waktu lama bagi Maya untuk bisa beradaptasi dengan keluarga muslim ini. Justru Dewi dan suaminya yang harus menyesuaikan dengan kebutuhan Maya sebagai seorang Kristen. Termasuk mencarikan gereja untuk ibadah di hari Minggu.
“Di kompleks rumah kami ada beberapa gereja. Tapi kami kurang paham mana yang Katolik, Advent, atau Protestan. Kita sempat tanya Maya bedanya apa dan kita Googling dulu, pastikan supaya gereja yang kita pilih nggak salah,” kata Sugeng, yang ikut mengantar Maya ke depan pintu gereja dan menunggu hingga selesai ibadah.
Para remaja yang ikut program SabangMerauke tak hanya belajar toleransi. Mereka juga dipompa semangatnya untuk mengejar pendidikan yang tinggi. Maya sangat ingin membagikan semangat ini kepada teman-teman sepantarannya. Di kampung halaman Maya, asumsi bahwa pendidikan merupakan nomor dua masih sangat kuat. Maya, yang risau akan hal ini, pun ikut membantu temannya belajar.
“Teman Maya batas SD saja, asal tahu baca dan menulis. Setelah itu di rumah bantu berkebun. Padahal kita sekolah ingin meraih cita-cita dan masa depan, Maya ingin tunjukkan dunia pendidikan lebih penting daripada semuanya,” tutur Maya, yang bercita-cita menjadi seorang dokter.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!