Tafsir Ekologi Surat Ar-Rum ayat 41 dan Al-Araf ayat 56 dengan Pendekatan Teori Aksiomatika Hassan Hanafi
Oleh: Wildan Rifqi Asyfia
Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Sains Al Qur’an Wonosobo
(Praktik Pengalaman Lapangan di Kankemenag Kulon Progo)
Tafsir ekologi menjadi ranah baru dalam kajian tafsir al-Quran. Tawaran yang diberikan dalam tafsir ini adalah menyampaikan tentang ajakan memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan lingkungan, seperti surat Ar-Rum ayat 41 dan Al-Araf ayat 56. Salah satu faktor yang melatarbelakangi lahirnya varian tafsir ini adalah masalah lingkungan hidup yang menjadi isu faktual pada abad ke-21.
Kajian tafsir modern telah berkembang bukan hanya sebagai wacana. Namun, ide yang tertuang dapat menjadi sebuah ruang baru agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Di antaranya adalah sebuah tafsir pembebasan dari Hassan Hanafi yang lebih mengedepankan adanya sebuah aksi perubahan sosial dari hasil pentafsiran al-Quran. Maka, melalui pendekatan teori aksiomatika Hassan Hanafi, tafsir ekologi diharapkan melahirkan adanya sebuah gerakan nyata ramah lingkungan, bukan hanya sebagai pengetahuan lembaran ilmu tanpa memberikan manfaat sosial bagi umat manusia.
Islam sebagai agama Rahmatal lil Alamin tentu merupakan agama yang paripurna bagi setiap pemeluknya. Sumber hukum Islam yang didasarkan pada al-Quran dan hadits menjadi hudan (petunjuk) dan aturan yang mengikat pada umat Islam yang timbul dari kedua sumber tersebut. Beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan mengenai permasalahan lingkungan adalah Surat Ar-Rum ayat 41
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Arab-Latin: ẓaharal-fasādu fil-barri wal-baḥri bimā kasabat aidin-nāsi liyużīqahum ba’ḍallażī ‘amilụ la’allahum yarji’ụn
Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Dan Surat Al-Araf ayat 56
وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا وَٱدْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ
Arab-Latin: Wa lā tufsidụ fil-arḍi ba’da iṣlāḥihā wad’ụhu khaufaw wa ṭama’ā, inna raḥmatallāhi qarībum minal-muḥsinīn
Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
Menelaah ayat tersebut secara mendalam menjadi salah satu instrumen penting dalam membangun sebuah tafsir ekologis. Menerapkan sebuah pemahaman yang lebih bijak bagi manusia dalam melihat Alam sebagai bentuk mahluk hidup yang bukan hanya diambil manfaatnya secara membabi buta tanpa melihat dampak resiko yang akan terjadi setelahnya.
Hermeneutika sebagai wacana baru dalam metode penafsiran al-Quran tidak sedikit menimbulkan pro-kontra yang muncul dipermukaan para cendekiawan muslim, salah satunya adalah hermeneutika tafsir pembebasan yang dibawa oleh Hassan Hanafi.
Fokus Hanafi dalam mengembangkan hermeneutika al-Quran dibangun atas dua persoalan, yaitu persoalan metodis dan persoalan filosofis. Secara metodis dia mencoba untuk memberikan warna baru dalam memahami al-Quran dengan mendasarkan pada pemikiran liberal dan emansipatoris. Sedangkan pada persoalan filosofis dia menjadi seorang agen perubahan baik perihal kritik maupun mendekontruksikan teori tafsir klasik yang telah lama mapan, untuk mencapai pada pemahaman Hassan Hanafi maka dalam hal ini diperlukan beberapa perangkat yang mendukung hal tersebut, yaitu ushul fiqh, fenomenologi, marxis, dan hermeneutika itu sendiri.
Melalui keempat perangkat tersebut, Hanafi membangun sebuah teori hermeneutika yang mewadahi gagasan pembebasan dalam Islam. Atau tafsir revolusioner yang menjadi pijakan normatif-ideologis bagi umat Islam – untuk menghadapi segala bentuk represi, eksploitas, dan ketidakadilan – yang mengusung hermeneutika lebih bersifat praksis dan mampu menjadi problem solver.
A. Menelaah Tafsir Ar-Rum ayat 41 dan Al-Araf ayat 56
Dalam kajian tafsir surat Ar-Rum ayat 41 dijelaskan bahwa telah terjadi kerusakan di daratan dan di lautan. Term kata al-fasad menurut para ulama memiliki berbagai macam makna Dalam membuka pembahasan tentang penafsirkan ayat ini, Yusuf al-Qaradhawi dengan tegas menekankan bahwa Islam telah mengatakan penyebab terjadinya kerusakan terhadap lingkungan merupakan perbuatan manusia yang korup, sikap eksploitatif dan destruktif (tasarrufat al-insan al-munharifah). Surat Ar-Rum ayat 41 ini yang menjadi landasan argumentasinya
Baginya, kata fasad dalam ayat ini tidaklah dimaknai secara maknawi yakni berupa kemaksiatan, kemungkaran dan perbuatan keji. Namun, lebih kepada bentuk konkret kerusakan itu sendiri yang disebabkan oleh tindakan manusia (bima kasabat a’id al-nas). Maka secara sederhana, fasad yang dimaksud dalam ayat ini adalah akumulasi dari tindakan non-etis manusia terhadap lingkungan secara berulang-ulang.
Ibnu Asyur dalam kitabnya at-Tahrir wa at-Tanwir mengatakan bahwa yang dimaksud kata fasad dalam ayat tersebut hilangnya kemanfaatan dan munculnya krisis-krisis di bumi, baik itu dalam sektor pangan maupun yang lainnya. Senada dengan ayat ini dalam memahami term kata fasad adalah surat al-Araf ayat 56 yang berbunyi
وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا وَٱدْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ
Arab-Latin: Wa lā tufsidụ fil-arḍi ba’da iṣlāḥihā wad’ụhu khaufaw wa ṭama’ā, inna raḥmatallāhi qarībum minal-muḥsinīn
Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
Pada ayat ini juga dijelaskan mengenai larangan melakukan sebuah kerusakan di muka bumi, al-Dlohak ketika memaknai term fasad adalah yang paling tegas menyebut tafsir ayat tersebut ialah larangan merusak lingkungan yang membahayakan kehidupan, seperti menebang pohon secara sembarangan atau menimbun sumber air.[1]
Sedangkan al-Razi menggunakan pendekatan Maqosid al-Syar’iyyah dalam menafsiri ayat ini. Karena larangan ini bersifat umum, mencakup segala kerusakan di bumi, maka standar kerusakan yang dilarang tersebut ialah segala hal yang bertentangan dengan Maqosid al-Syar’iyyah, yakni menjaga agama, nyawa, harta, keturunan, dan akal. Sehingga pada akhirnya dapat diarahkan pada larangan melakukan kekafiran, membunuh tanpa sebab yang dibenarkan, mencuri, berzina, meminum minuman keras, dan hal-hal lainya.[2]
Para mufassir lain juga memiliki tafsiran yang berbeda dalam menafsiri kata ifsad. Ibnu ‘Abbas menyebut makna kata tersebut adalah kekafiran. Mujahid menyebut kata ifsad memiliki arti meninggalkan ketaatan pada Allah. Pakar tafsir lain mengartikannya dengan kemaksiatan, seperti penafsiran imam Abu ‘Aliyah dan Muqotil. Sedangkan ‘Ali bin ‘Ubaidillah menyebut tafsir kata ifsad adalah kemunafikan.
Jika disimpulkan, ragam penafsiran antara kedua ayat diatas masing-masing memberikan penjelasan kepada manusia untuk menjaga lingkungan dan tidak berbuat sewenang-wenang terhadap Alam hingga menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Nabi menjelaskan bahwa ia semata diutus sebagai rahmat (kasih sayang) bagi segenap alam. Sikap dan seluruh ajarannya semua berorientasi pada kasih sayang. Nabi senantiasa mengajarkan kita agar mengasihi semua makhluk
الرَاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوْا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Orang-orang yang pengasih akan dikasihi Allah Sang Maha Pengasih. Kasihilah siapapun di bumi maka yang di langit akan mengasihimu” (HR. Al Baihaqi).
Kestabilan ekosistem merupakan penunjang kemaslahatan. Sebaliknya, merusak lingkungan berpotensi mengganggu kestabilan tersebut dan akan menciptakan madlarat (bahaya) yang besar. Padahal Nabi sangat melarang segala jenis tindakan yang menyebabkan madlarat (bahaya) bagi siapapun.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ ، مَنْ ضَارَّ ضَارَّهُ اللَّهُ ، وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْه
Dari Abi Sa’id al-Khudry Ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda “Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh membahayakan orang lain, barang siapa membuat bahaya, maka Allah akan memberikan kemudlaratan kepadanya, barang siapa menyusahkan orang lain, maka Allah akan menyusahkannya” HR. Al Hakim
مَنْ ضَارَّ ضَارَّ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ
Barang siapa membuat bahaya, maka Allah akan memberikan kemudlaratan kepadanya, barang siapa mnyusahkan orang lain, maka Allah akan menyusahkannya.” HR. Turmudzi
Hadits ini menjadi dalil ‘am larangan semua hal yang berpotensi menciptakan madlarat (bahaya). Termasuk di dalamnya merusak lingkungan dengan segala bentuknya, karena dapat menimbulkan dampak negatif yang besar bagi keseimbangan kehidupan. Bahkan, para ulama’ ketika mensyarahi (menjelaskan) hadits ini, menyebut polusi udara adalah salah satu dloror yang dilarang. Seperti penjelasan Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi.[3]
B. Tafsir Ekologi sebagai Aksiomatika
Setelah melihat berbagai macam wacana ide mengenai tafsir ekologi, maka yang menjadi urgent adalah bagaimana tidak membiarkan tafsir ini hanya sebagai kumpulan wacana yang akan termakan oleh waktu tanpa adanya pengaplikasian dalam realiata sosial. Hassan Hanafi melihat hermeneutika bukan hanya sebagai metode berfikir, tapi juga sebagai aksiomatika. Yaitu bentuk eksistensi manusia dalam mengaplikasikan sebuah teori menjadi perubahan sosial. Hal tersebut terlihat seperti dalam karyanya yang berjudul Religius Dialogue and Revolution.
Agar menjadi suatu kemanfaatan dan menemukan hasilnya, sesuai dengan apa yang telah dikatakan Hanafi dalam Islam in The Modern world bahwa tafsir harus memiliki tanggung jawab atas eksistensi manusia baik individu maupun sosial.[4] Maka, gerakan mencintai lingkungan sebagai wujud dari manifestasi tafsir ekologi sudah selayaknya digaungkan oleh setiap orang, caranya adalah menumbuhkan rasa sadar terhadap diri kita sendiri untuk mecintai lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan, penggunaan air secara berlebihan dan penggunaan produk yang ramah lingkungan.
Bahkan untuk skala yang lebih besar, wajib bagi pemerintah untuk menindak setiap kegiatan yang dapat merusak lingkungan dan mengancam keberlangsungan habitat mahluk hidup yang ada ditempat tersebut, baik melalui Undang-Undang atau Perpu yang diterbitkan untuk menimbulkan efek jera kepada mereka yang telah melakukan perusakan di muka bumi.
Mencintai lingkungan serta turut menjaganya adalah kewajiban dari setiap orang. Sebagai makhluk yang menjadi Khalifah al-Ardh yang ditunjuk oleh Tuhan. Manusia berhak untuk mengambil manfaat atas segala sesuatu yang ada di muka bumi. Namun, tidak serta merta kebolehan tersebut membuat manusia dengan begitu bebas mengambil tanpa memperhatikan regenerasi kehidupan setelahnya. Maka, dibutuhkan kesadaran diri untuk tidak berlebihan dalam mengambil manfaat yang ada di muka yang dapat menjadi sebab kerusakan bagi lingkungan.
Wacana tafsir ekologi dengan pendekatan Hassa Hanafi membuka ruang akan pentingnya pejagaan lingkungan yang disertai aksi nyata dalam realita sosial, tidak berhenti dalam ruang berfikir tapi memilik dampak nyata yang dapat dirasakan manfaatnya untuk seluruh umat manusia.
[1] Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an, Juz 7 Hal. 226 (Kairo : Dar Al Kutub Al Misriyah 1964)
[2] Fahru Ad Din Muhammad bin Umar Al Razy, Mafatih Al Ghaib juz 7 Hal. 146 (CD. Maktabah Syamilah)
[3] Lihat Fikih Lingkungan (5): Nabi Muhammad Sangat Menyayangi Alam – Alif.ID diakses pada tanggal 04 Juli 2023 pukul 02.35 WIB
[4]Lihat Hermeneutika Al-Quran ala Hasan Hanafi (1): Beberapa Pemikiran (tafsiralquran.id) diakses pada tanggal 04 Juli 2023 pukul 01.38 WIB
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!