Islam dan Nyadran: Momentum Amal Saleh, Pengingat Diri, dan Merawat Tradisi

Oleh: Wildan Rifqi Asyfia

Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UNSIQ Wonosobo

(Praktik Pengalaman Lapangan di Kankemenag Kulon Progo)

Indonesia merupakan negara-bangsa yang kaya dengan berbagai macam suku, budaya, dan bahasa. Perbedaan yang muncul menghasilkan begitu banyak tradisi yang saling mengisi antara satu sama lain. Islam mencoba hadir untuk menemukan kolerasi hubungan budaya dan agama yang kemudian diakulturasikan menjadi sebuah kesatuan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Beberapa akulturasi kebudayaan Islam yang telah mentradisi khususnya di kalangan masyarakat Jawa adalah “Tradisi Nyadran”. Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta “Sraddha” yang artinya keyakinan, dikenal juga dengan nama Ruwahan, karena biasa dilakukan di bulan Ruwah.

Menurut Yanu Endar Prasetyo, Nyadran atau Sadranan adalah tradisi yang dilakukan oleh orang Jawa yang dilakukan di bulan Sya’ban (Kalender Hijriyah) atau Ruwah (Kalender Jawa) untuk mengucapkan rasa syukur yang dilakukan secara kolektif dengan mengunjungi makam atau kuburan leluhur yang ada di suatu kelurahan atau desa.[1] Tradisi ini juga banyak dilakukan oleh orang Islam menjelang datangnya bulan suci Ramadhan.

Nyadran dilakukan sebagai bentuk sarana “sowan” kita kepada para leluhur yang telah meninggal dunia, mendoakan mereka, dan momen untuk mengingat diri bahwa kehidupan pada saatnya akan mengalami kematian. Selain itu, kegiatan ini juga bermaksud untuk melestarikan budaya berkumpul bersama agar keharmonisan antara masyarakat dapat terjaga dengan baik.

Dalam Islam sendiri tradisi nyadran dikenal dengan sebutan ziarah kubur, yang mana substansinya adalah mendoakan para leluhur, membaca ayat-ayat Al-Quran, dan mengingat diri akan kematian. Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Ketika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali 3 (perkara): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang berdoa baginya.” (HR. Muslim)

Pada hadits tersebut dapat dipahami bahwa kita sebagai seorang yang masih hidup dapat mentransfer amal terhadap orang yang sudah meninggal dunia, baik itu kepada orang tua yang telah tiada, leluhur, kerabat, atau kaum muslim umumnya.

Salah satunya adalah anak saleh yang berdoa untuk kedua orang tuanya, caranya bisa dengan mendoakan mereka selepas waktu shalat atau ziarah (nyadran) terhadap kuburan mereka. Hal ini juga sebagai bentuk amal saleh dan bakti seorang anak kepada orang tuanya ketika mereka wafat.

Maka dari itu, dengan kita melakukan kegiatan Nyadran, kita telah ikut andil dalam melestarikan budaya, mengingat jati diri kita sebagai manusia dan juga bentuk amal bakti kita kepada orang tua.

[1] Lihat https://kebudayaan.jogjakota.go.id/page/index/tradisi-nyadran

1 reply

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *