Sabar dan Berdamai dengan Keadaan

Kajian Kesehatan Mental QS Al Baqarah Ayat 155 dan 282

Oleh: Mulabbi Al Wasi’

Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Sains Al Qur’an Wonosobo

(Praktik Pengalaman Lapangan di Kankemenag Kulon Progo)

Maqasih Syariah, sebagai prinsip dalam menjalani kehidupan dan keagamaan dengan kemaslahatan. Meliputi 5 hal pokok yang berhak untuk dipelihara serta menuntut pengembangan. Di antaranya yaitu agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Kesemuanya menuntun perhatian yang sama dan seimbang jika menginginkan kehidupan yang damai dan sejahtera.

Mulai dari bagaimana kita bebas untuk menjalankan agama yang kita yakini. Menjaga agar tidak ada nyawa yang hilang dengan sia-sia. Melanjutkan keturunan dengan berkembang biak yang sah. Memiliki harta untuk muammalah dengan manusia lain. Hingga mengembangkan ilmu pengetahuan dengan akal yang sehat.

Satu hal yang saat ini masih kurang mendapat perhatian di Indonesia, padahal isu ini sedang gencar diperbincangkan dalam lingkup dunia global. Yaitu isu kesehatan mental, sebuah isu yang apabila kita bedah, tentu akan sangat berhubungan erat dengan maqasid syariah.

Menjaga jiwa, tidak hanya tentang fisik dan ragawi seseorang. Melainkan juga meliputi jiwa (psikologi) dan bathiniyahnya. Hal ini seringkali dianggap remeh di Indonesia, bahkan menjadi candaan. Seperti layaknya ada istilah guyonan “Kena Mental”. Padahal tingkat stress dan kekuatan jiwa atau mental seseorang tidaklah sama. Sebagaimana layaknya imun tubuh seseorang yang berbeda-beda, dan bisa berubah tergantung situasi dan kondisi.

Berikut data statistik terkait bagaimana Indonesia mengalami kasus kesehatan mental, serta penyebaranya di pelbagai provinsi.[1]

Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan gangguan depresi sudah mulai terjadi sejak rentang usia remaja (15-24 tahun),  dengan  prevalensi  6,2%.  Sulawesi  Tengah  (12,3%),  Gorontalo  (10,3%)  dan  Nusa Tenggara Timur 9,7%) merupakan Provinsi dengan angka kejadian tertinggi di Indonesia serta adanya peningkatan  prevalensi  rumah  tangga  yang  memiliki  ODGJ  (Orang  dengan  Gangguan  Jiwa),  yaitu Bali (11,1%), DI Yogyakarta (10,4%) dan Nusa Tenggaran Barat (9,6%).[2] Data ini menunjukkan kenaikan yang signifikan melihat perbandingan dari tahun 2013 dan 2018.

Depresi, merupakan gangguan kesehatan jiwa yang menjadi beban kesehatan terbesar di dunia. Depresi merupakan salah satu penyebab utama kejadian bunuh diri (suicide). Sebanyak 40% penderita depresi mempunyai ide untuk bunuh diri.[3]

Al-Qur’ān sebagai kitab sempurna, mempunyai banyak kandungan nilai-nilai petunjuk bagi manusia. Bagaimana bersikap menghadapi kesulitan dan pengobatan terhadap gangguan kesehatan mental. Di antara nilai luhur yang sangat penting untuk bekal manusia yaitu kesabaran (Amaliya, N. K., 2017).

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

Artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

  1. Al Baqarah ayat 155 menjelaskan tentang bagaimana manusia kelak akan menerima suatu masalah, apapun itu. Dan dijelaskan pula hendaknya manusia bersabar, maka ia akan mendapat kabar gembira.

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

Pada awal QS Al Baqarah ayat 286, ada keterangan menarik yang menjelaskan bahwasanya segala masalah yang manusia hadapi itu sudah sesuai dengan kekuatan dan batasan yang dimiliki. Ini juga menjadi kabar gembira untuk para pasien penderita mental illness.

Akan tetapi, tentu masalah tersebut tidak bisa serta diatasi sendiri, sehingga perlu adanya tenaga ahli baik itu dari segi medis dengan berkonsultasi kepada psikolog. Maupun dengan segi spiritual dengan melakukan amalan-amalan yang akan membawa kedamaian dan ketenangan.

Sebagaimana agama menganjurkan kita, untuk tidak hanya mementingkan urusan akhirat saja. Melainkan juga memerintahkan kita agar peduli dengan urusan dunia. Dalam kasus ini penting bagi pasien untuk tetap berobat secara langsung kepada psikilog atau psikiater. Setidaknya dengan bertemu secara langsung, kita akan mengatahui apakah memang diperlukan tindakan lanjutan mengenai sakit kejiwaan ini.

“Mens Sana in Corpore Sano” sebuah istilah latin yang berarti “di dalam badan yang sehat, ada jiwa yang sehat”. Secara logika, bisa kita ambil contoh, ketika kita mengalami batuk, flu, sakit gigi, dan sebagainya, maka secara tidak langsung akan memengaruhi perilaku kita.[4]

Namun hal tersebut juga berlaku sebaliknya. Hal ini yang orang masih kurang sadari. Jiwa yang sehat juga membuat tubuh mejadi sehat. Psikomatik adalah ketika pikiran menyebabkan penyakit fisik.  Psikosomatik terdiri dari 2 kata, yaitu pikiran (psyche) dan tubuh (soma). Istilah gangguan psikosomatik digunakan untuk menyatakan keluhan fisik yang diduga disebabkan atau diperparah oleh faktor psikis atau mental, seperti stres, depresi, takut, atau cemas.

Ketika merasa takut atau stres, aktivitas listrik saraf otak ke berbagai bagian tubuh akan meningkat. Kondisi ini bisa memicu munculnya gejala, seperti denyut jantung menjadi cepat, mual atau ingin muntah, gemetaran atau tremor, berkeringat, mulut kering, sakit dada, sakit kepala, atau sakit perut.[5]

Pada dasarnya, seseorang dapat berkonsultasi terkait kesehatan mental kepada psikolog. Maka dari itu penulis menganjurkan. Selain bilamana menerima suatu masalah dengan lapang dada dan bersabar. Silahkan untuk menghubungi tenaga ahli jika memang hal itu diperlukan.

[1] RISKESDAS. Situasi Kesehatan Jiwa Di Indonesia. InfoDATIN. 2018.

[2] Noveri Aisyaroh, Isna Hudaya, dan Ratna Supradewi. 2022. TREND PENELITIAN KESEHATAN MENTAL REMAJA DI INDONESIA DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI: LITERATURE REVIEW.

[3] Pratiwi Kurniasari, Rusinani Didik. 2022. LITERATURE REVIEW: GANGGUAN MENTAL DEPRESI PADA WANITA.

[4] “Mens Sana in Corpore Sano”, Benarkah??? Artikel RS UNS

[5] https://www.alodokter.com/gangguan-psikosomatis-ketika-pikiran-menyebabkan-penyakit-fisik

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *